Senin, 16 Januari 2012

Makalah Penelitian




Potensi pemanfaatan Trichoderma spp. sebagai agen pengendali hayati dalam mengendalikan penyakit tanaman

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) hingga saat ini masih merupakan masalah utama yang membatasi produksi terutama untuk daerah-daerah yang mempunyai iklim tropis. Sementara, penggunaan pestisida sintetik dalam mengendalikan OPT mempunyai resiko yang besar karena dapat menyebabkan reistensi, resurgensi, pencemaran lingkungan, musnahnya musuh alami, timbulnya residu pestisida dalam tanaman dan sebagainya. Pengendalian hayati diharapkan dapat mengurangi efek samping dari penggunaan pestisida dalam mengendalikan serangan OPT.

Menurut Cook and Baker (1989), pengendalian hayati (biological control) adalah pengurangan jumlah inokulum atau aktivitas produksi penyakit (deseases producing-activity) dari patogen yang disebabkan oleh satu atau beberapa organisme selain manusia. Aktivitas produksi penyakit termasuk didalamnya pertumbuhan, keinfektifan, virulensi, agresifitas dan kualitas lain dari patogen. Di dalamnya termasuk 1) individu atau populasi avirulen atau hipovirulen dari spesies patogen itu sendiri, 2) manipulasi genetik tanaman inang, kultur teknis, atau dengan menggunakan mikroorganisme untuk meningkatkan ketahanan tanaman inang terhadap patogen, dan 3) pemanfaatan antagonis patogen yang diartikan sebagai mikroorganisme yang menginterferensi pertahanan atau aktivitas produksi penyakit dari patogen . Pengendali hayati dapat berupa : kultur teknis (pengelolaan habitat) sehingga membuat lingkungan mendukung untuk pertumbuhan antagonis, penggunaan tanaman inang yang resisten, atau keduanya ; persilangan tanaman untuk meningkatkan ketahanan terhadap patogen atau keadaan tanaman inang yang mendukung (disukai) untuk aktivitas antagonis ; introduksi antagonis, strain non-patogenik, dan agen atau organisme lain yang mempunyai manfaat yang sama.

Salah satu contoh pengendalian hayati adalah dengan memanfaatkan Trichoderma spp. sebagai organisme yang mempunyai kemampuan antagonistik dalam mengendalikan penyakit tanaman. Trichoderma spp. merupakan jamur yang sangat umum dijumpai dalam tanah dan merupakan jamur yang bersifat antagonistik terhadap jamur lain (Chet, 1987).
Faktor-faktor yang menguatkan Trichoderma sebagai salah satu agen pengendali hayati adalah ditemukannya proses-proses sebagai berikut :
  • Munculnya respon kemotropik dari Trichoderma spp.
  • Dipengaruhinya inang oleh mikoparasit
  • Ekskresi dari enzim ekstra selular
  • Terjadinya lisis pada inang(chet, 1987).

Tujuan
Untuk mengetahui pemanfaatan Trichoderma spp. sebagai agen pengendali hayati dalam mengendalikan penyakit tanaman.

BIOLOGI TRICHODERMA SPP.
Trichoderma merupakan jamur inperfekti (tak sempurna) dari Subdivisi Deuteromycotina, Kelas Hyphomycetes, Ordo Moniliaceae. Konidiofor tegak, bercabang banyak, agak berbentuk kerucut, dapat membentuk klamidospora, pada umumnya koloni dalam biakan tumbuh dengan cepat, berwarna putih sampai hijau (Cook and Baker, 1989).
Bentuk Sempurna dari jamur ini secara umum dikenal sebagai Hipocreales atau kadang-kadang Eurotiales, Clacipitales dan Spheriales. Spesies dalam satu kelompok yang sama dari Trichoderma dapat menunjukkan spesies yang berbeda pada Hypocrea sebagai anamorf. Hal ini dimungkinkan karena terdapat banyak perbedaan bentuk seksual dari Trichoderma, sebagai contoh misalnya pada T. harzianum dapat menunjukkan enam perbedaan bentuk seksual yang masing-masing bentuk ini menunjukkan anamorf yang berbeda (Chet, 1987).
Morfologi beberapa spesies Trichoderma menurut Cook and Baker (1989), sebagai berikut:
Trichoderma viride Pers. (bentuk sempurnanya dikenal sebagai Hypocrea rufa Fr.) : Penyebarannya luas di tanah; konidiofor berakhir pada fialid; fialospora mempunyai dinding yang kasar, berwarna hijau, berukuran antara 2,8-5,0 X 2,8-4,5 mm; koloni cepat tumbuh pada media malt-agar (menutupi 9 cm permukaan petridish dalam empat hari pada suhu 200 C).
Trichoderma hamatum Bainier : Penyebarannya luas di tanah, konidiofor berakhir pada perpanjangan hifa yang steril, fialospora halus, berwarna hijau, elipsoidal membujur, kebanyakan berukuran 5 X 2,5 – 3 mm, koloni cepat tumbuh pada malt-agar (menutupi 9cm permukaan petridish dalam waktu lima hari pada 200 C)
Trichoderma harzianum Rifai : Umum ditemukan pada tanah, konidiofor berakhir pada fialid; fialospora halus, berwarna hijau, berukuran antara 2,4-3,2 X 2,2-2,8 mm; koloni cepat tumbuh.
Trichoderma polysporum Rifai : Umum ditemukan pada tanah; konidiofor berakhir pada perpanjangan hifa yang fleksibel; fialospora halus, elipsoidal membujur, hyalin, berukuran 2,4-3,8 X 1,8-2,2 mm; koloni lambat tumbuh dan mempunyai konidia berwarna putih yang dapat dihamburkan menutupi permukaan.
Trichoderma koningii Oud : Umum ditemukan pada tanah, konidiofor berakhir pada fialid; fialospora halus, berwarna hijau, eliptik-subsilindris, berukuran 3-4,8 X 1,9-2,8 mm; koloni cepat tumbuh.

Genus dari Trichoderma terdiri atas beberapa jamur saprofit yang umum ditemukan dalam tanah, kayu lapuk, dan sisa tanaman, yang mana dapat mudah dikenali terutama karena sporanya yang berwarna hijau (Chet, 1987). Berdasarkan contoh-contoh dari beberapa tanah pertanian, populasi alamiah Trichoderma tergolong agak rendah. Populasinya sangat beragam dipengaruhi oleh pH,seperti padda tanah di benua Amerika di Fort Collins (pH 8,1) terdpat 103 spora/gram, di Bogota Kolombia (pH 5,1) terdapat 108 spora/gram pada tanah organis ( chet, 1987). Trichoderma viride merupakan antagonis yang aktif pada tanah yang lembab tapi terhambat pertumbuhannya pada tanah yang sangat basah dengan pH 5,4 atau lebih besar (Anderson, 1962-1964, dalam cook and Baker, 1989), T. harzianum lebih aktif sebagai antagonis dalam tanah pada pH 6,5 atau lebih rendah (Chet, 1987).

PEMBAHASAN
Potensi dan Mekanisme Antagonistik Trichoderma spp.
Diketahui bahwa beberapa spesies Trichoderma mampu menghasilkan metabolit gliotoksin dan viridin sebagai antibiotik dan beberapa spesies juga diketahui dapat mengeluarkan enzim b-1,3-glukanase dan kitinase yang menyebabkan eksolisis pada hifa inangnya (Chet, 1987), tapi proses yang terpenting adalah kemampuan mikoparasit dan persaingannya yang kuat dengan patogen (Cook and Baker, 1989). Dalam beberapa penelitian yang dilakukan, Trichoderma spp. Berperan sebagai mikoparasit terhadap Phytium apanidermatum, Rhizoctonia solani, dan Sclerotium ralfsii (Johnson and Curl, 1972, dalam Chet, 1987). Chet (1987), berpendapat bahwa bahwa mikoparasitisme dari Trichoderma spp. merupakan suatu proses yang kompleks dan terdiri dari beberapa tahap dalam menyerang inangnya. Interaksi awal dari Trichoderma spp. yaitu dengan cara hifanya membelok ke arah jamur inang yang diserangnya, Ini menunjukkan adanya fenomena respon kemotropik pada Trichoderma spp. karena adanya rangsangan dari hyfa inang ataupun senyawa kimia yang dikeluarkan oleh jamur inang. Ketika mikoparasit itu mencapai inangnya, hifanya kemudian membelit atau menghimpit hifa inang tersebut dengan membentuk struktur seperti kait (hook-like structure), mikoparasit ini juka terkadang mempenetrasi miselium inang dengan mendegradasi sebagian dinding sel inang (Elad et al.,1983, dalam Chet, 1987).
Kemampuan masing-masing spesies Trichoderma dalam mengendalikan jamur patogen berbeda-beda, hal ini dikarenakan morfologi (dijelaskan pada Bab II) dan fisiologinya yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Trichoderma harzianum dan Trichodrma hamatum memproduksi enzim b-1,3-glukanase dan kitinase yang dapat menyebabkan eksolisis hifa inang (Chet, 1987) Trichoderma hamatum juga memproduksi selulase yang diduga dapat menjelaskan kemampuannya dalam memparasiti Pythium spp (Chet and Baker, 1981, dalam Cook and Baker, 1989). Trichoderma harzianum strain 1295-22 juga menghasilkan antibiotik volatile yang mampu mengurangi pertumbuhan miselium Rhizoctonia solani (Lo, et al., 1997).
Widyastuti, dkk.(1999), menguji tingkat dan variasi potensi antagonistik tiga spesies Trichoderma terhadap delapan isolat jamur akar tanaman kehutanan dan didapatkan hasil seperti yang tercantum pada tabel 1.

Tabel 1. Daya hambat tiga spesies Trichoderma terhadap pertumbuhan delapan isolat jamur akar tanaman kehutanan
x No. Isolat
y Inang
z Daya Hambat (%)
T. koningii
T. reesei
T. harzianum
2
Acacia mangium
94,31 a
96,53 c
79,84 d
4
Acacia mangium
97,82 a
98,20 b
84,62 bcd
9
Acacia auriculiformis
96,37 a
98,37 b
86,56 abc
10
Delonix regia (Flamboyan)
97,03 a
98,22 b
83,03 cd
13
Paraserianthes falcataria (Sengon)
62,82 b
100,00 a
56,37 f
17
Dalbergia latifolia (Sonokeling)
98,48 a
95,72 c
71,60 e
19
Cassia siamea (Johar)
98,62 a
98,32 b
90,56 a
24
Leucana leucocephala (Lamtoro)
99,51 a
100,00 a
89,35 ab

Ket. : x Nomor isolat jamur menyesuaikan dengan nomor induk isolat koleksi lab. Perlindungan Hutan, Fak. Kehutanan. Jamur akar diisolasi dari akar tanaman yang tumbuh di beberapa tempat dan menunjukkan gejala penyakit dan tubuh buah jamur akar, isolat yang diperoleh diperbanyak dan disimpan dalam agar miring.
y Inang ini merupakan tempat jamur akar diisolasi.
z Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji beda nyata jujur pada taraf uji 0,05.
Dari Tabel 1. dapat disimpulkan bahwa ketiga spesies Trichoderma yang diuji mampu menghambat sebagian besar pertumbuhan isolat jamur patogen akar meskipun tiap jenis Trichoderma mempunyai potensi antagonistik yang berbeda-beda terhadap isolat-isolat jamur akar.Tingkat penghambatan tertinggi ditunjukkan oleh T. reesei yang dapat menghambat pertumbuhan semua isolat jamur patogen akar yang diuji. Patogen yang berasal dari jenis tanaman inang yang sama tetapi lokasi tempat tumbuhnya berbeda juga akan memberikan respon yang berbeda pula.
Dari hasil penelitian sebelumnya, Widyastuti, dkk.(1998), juga melaporkan bahwa Trichoderma spp. mampu menghambat pertumbuhan Ganoderma philippii yang menyerang Acacia mangium (data tidak disajikan) pada media PDA dan Media potongan akar Acacia mangium Willd.


Formulasi dan Sistem Aplikasi
Pengendalian hayati yang dilakukan tidak hanya bergantung pada agen pengendali hayati saja tetapi cara dan strategi untuk mempertahankan tingkat populasi dan aktivitasnya terhadap sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga pengendalian hayati yang dilakukan menjadi efektif. Menjaga kualitas dari agen pengendali hayati, metoda yang digunakan untuk pembuatannya, formulasi, dan aplikasinya, merupakan hal yang penting karena dapat mempengaruhi efikasi dari agen pengendali hayati itu sendiri (Cook and Baker, 1989).
Untuk memudahkan dalam aplikasi dan untuk penyimpanan jangka panjang, diperlukan formulasi yang tepat. Penelitian tentang formulasi untuk produksi masal Trichoderma telah banyak di coba. Backman and Rodriguez – Kabana (1975), dalam Chet (1987) menggunakan campuran molase dan butiran tanah liat sebagai food base untuk Trichoderma harzianum, pengamatan menunjukkan dapat mengurangi kerusakan akibat serangan Sclerotium ralfsii pada kacang tanah. Huang (1980) dalam Cook and Baker (1989) menumbuhkan Trichoderma viride pada biji jewawut yang telah di-autoclave dan biji bunga matahari pada temperatur ruangan selama dua sampai enam minggu yang diaplikasikan pada lahan setelah di kering-anginkan selama dua sampai empat minggu. Lo et al. (1997) menambahkan surfactant sebanyak 0,1% v/v(Titon X-100; Eastman Kodak Co.) dan nutrisi perekat (nutrient adhessive)yang mengandung carboxymethyl cellulose dan gum arabic ((Pelgel; Liphatech, Inc.) sebanyak 1% berat/v pada suspensi konidia pada saat aplikasi, pengujian ini menunjukkan dapat menekan gejala serangan Phytium gamminicola Subramanian, Rhizoctonia solani Kuhn, dan Sclerotinia homoecarpa F. T. Bennet.
Lo, et al., melakukan penelitian untuk mengetahui populasi Trichoderma spp. pada tanah dan filoplan pertanaman rumput Agrostis palustris Huds. yang diberi perlakuan Trichoderma harzianum strain 1295-22 dengan perlakuan butiran dan penyemprotan (data pada tabel 2).

Dari Tabel 2 terlihat bahwa pada percobaan di laboratorium, perlakuan butiran dan penyemprotan memberikan hasil yang berbeda dalam penyebaran T. Harzianum strain 1295-22 , yang secara efektif mampu mengkoloni akar pertanaman rumput ketika diberi perlakuan butiran dan penyemprotan, tapi perlakuan dengan penyemprotan menunjukkan hasil yang lebih tinggi dalam mengkoloni permukaan daun.

Tabel 2. Populasi Trichoderma spp. pada rizosfer dan filoplan pada pertanaman rumput Agrostis palustris Huds. yang diberi perlakuan Trichoderma harzianumw
Perlakuan
Populasi pada Rizosfer (CFU/g tanah)
Populasi pada filosfer (CFU/0,05 g daun)
Tanah yang di-Autoclavex
Tanah Alami (tidak di-Autoclave)
Tanah yang di-Autoclavex
Tanah Alami (tidak di-Autoclave)
Kontrol
2,9 X 103 c
1,8 X 104 c
3,6 X 103 b
6 X 104 b
Aplikasi ButiranY
2,4 X 105 a
1,0 X 105 b
6,7 X 103 b
7 X 104 b
Aplikasi PenyemprotanZ
1,0 X 105 b
1,8 X 105 a
4,0 X 105 a
3 X 105 a

Ket. : w Data dikumpulkan pada 7 hari setelah penyemprotan suspensi spora pada pembibitan rumput. Tingkat populasi awal trichoderma adalah 2 sampai 5 X 103 CFU/g untuk tanah tanpa perlakuan dan 0,5 sampai 1 X 103 setelah di-autoclavepada awal experimen.
x Tanah di-autoclave dua kali selama 20 menit (1210 C, 15 lb). Angka pada kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada p = 0,05.
y Aplikasi butiran dilakukan dengan cara mencampurnya dengan tanah sebelum benih rumput di benamkan.
z pembibitan rumput berumur 10 hari di beri aplikasi penyemprotan yang berasal dari suspensi formulasi butiran dalam air dan disaring melalui 4 lapisan Cheesecloth.

Pada uji evaluasi terhadap dinamika populasi T. harzianum strain 1295-22 dilapangan dan pengaruhnya terhadap gejala serangan Phytium gamminicola Subramanian, Rhizoctonia solani Kuhn, dan Sclerotinia homoecarpa F. T. Bennet (sebagai pembanding digunakan fungisida propiconazole) yang dilakukan pada bulan Juni sampai November 1994 (data tidak disajikan), Lo et al (1997) mendapatkan bahwa penyemprotan mingguan suspensi spora dengan media tumbuh 2% biji gandum cair (sebanyak 100 ml dari 2% biji gandum [berat/volume] dalam tabung gelas 250 ml diinokulasi dengan 1 ml suspensi konidia [106 spora/ml] dan diinkubasikan selama 5 hari dalam shaker [50 rpm] pada suhu 300 C) menunjukkan populasi yang paling tinggi diantara perlakuan lainnya (106 CFU/gr)(perlakuan yang dilakukan : butiran 6,4 gr/m2, suspensi spora yang diaplikasikan bulanan, dan perlakuan kontrol) mampu menekan gejala serangan penyakit sama efektifnya dengan penggunaan pestisida.


KESIMPULAN
Secara morfologis, Trichoderma mempunyai potensi untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati, hal ini didasarkan atas kemampuanya sebagai mikoparasit dan dan dalam berkompetisi.
Pengujian dilaboratorium menunjukkan bahwa beberapa jenis Trichoderma mampu menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogen dan masing-masing spesies Trichoderma mempunyai potensi antagonistik yang berbeda-beda,
Metode pembuatan biakan masal, formulasi, dan aplikasi berpengaruh terhadap efikasi Trichoderma di lapangan. Penambahan zat aditif seperti surfactant yang kompatibel dapat meningkatkan kemampuan agen pengendali hayati dalam mengurangi gejala serangan penyakit. Penyemprotan mingguan suspensi spora lebih efektif dalam mengurangi serangan penyakit dibandingkan dengan dalam bentuk butiran dan penyemprotan bulanan suspensi spora.


Daftar Pustaka
Chet,I (Ed.), 1987. Innovative Approaches to Plant Diseases Control. John Wiley and Sons, A Wiley-Interscience Publication, USA. pp. 11-210.
Cook, R. J. and K. F. Baker, 1989. The Nature on Practice of Biological Control of Plant Pathogens. ABS press, The American Phytopathological Society, St. Paul, Minesota 539 p.
Lo, C. –T., Nelson, E. B., and Harman, G. E. 1997. Improved Biocontrol Efficacy of Trichoderma harzianum 1295-22 for Foliar Phases of Turf diseases by Use of Spray Application. Plan Disease, Vol. 81, No. 10. pp. 1132-1138.
Widyastuti, S. M. , Sumardi, A. Sulthoni, dan Harjono, 1998. Pengendalian Hayati Penyakit Akar Merah pada Akasia dengan Trichoderma. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia,Vol. 4, No. 2. hal. 65-72.
Widyastuti, S. M., Sumardi dan Harjono, 1999. Potensi Antagonistik Tiga Trichoderma spp Terhadap Delapan Penyakit Akar Tanaman Kehutanan. Bulletin Kehutanan No. 41, Fakultas Kehutanan – UGM, Yogyakarta, Indonesia. Hal. 2-10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar