Senin, 16 Januari 2012

Contoh PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) 1



BAB I
 
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sampai saat ini penyakit DBD ini belum ditemukan vaksinnya, sehingga tindakan yang paling efektif untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk ini adalah dengan meningkatkan kebersihan lingkungan kita dengan cara 3M, yaitu menguras tempat penampungan air dengan menyikat bagian dalam dan harus dikuras paling sedikit seminggu sekali, menutup rapat-rapat tempat penampungan air dan menimbun dalam tanah barang-barang bekas atau sampah yang dapat menampung air hujan (Setyaningrum, E. 2007).
 
Penyebaran penyakit DBD terkait dengan perilaku masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan kebiasaan hidup bersih dan kesadaran keluarga terhadap bahaya DBD.Tingginya angka kesakitan penyakit ini sebenarnya oleh karena perilaku kita sendiri. Faktor lainnya yaitu masih kurangnya pengetahuan, sikap, dan tindakan keluarga untuk menjaga kebersihan lingkungan. Lingkungan yang cocok untuk tempat perkembang biakan dari nyamuk aedes aegepty adalah ditempat-tempat penampungan air bersih dan tenang seperti drum, tempayan, bak mandi, WC, ember, vas bunga, dan kaleng-kaleng bekas yang dapat menampung air hujan, juga baju yang bergantungan.
 
Daun Kemangi memiliki bau yang sangat tajam sehingga jika tercium agak lama akan mengakibatkan mual dan pening. Bau daun ini juga dapat mengusir nyamuk dan serangga (Tjitrosoepomo, 1994).
 
Menurut tim peneliti dari Center for New Crops and Plant Products, Purdue University, AS, daun kemangi terbukti ampuh untuk menyembuhkan sakit kepala, pilek, diare, sembelit, cacingan, dan gangguan ginjal. Mereka mengemukakan keampuhan pengobatan menggunakan daun kemangi, yaitu dapat mengatasi sakit maag, perut kembung, masuk angin, kejang-kejang, dan badan lesu. Selain itu, aroma kemangi dapat menolak gigitan nyamuk.
 
Berdasarkan fenomena di atas maka penulis mencoba menyusun gagasan tertulis mengenai cara efektif untuk menanggulangi wabah Demam berdarah (DBD), dengan judul “Penggunaan “Pasta Kemangi (Ocymum basilicum)” dalam Upaya Menanggulangi Demam Berdarah di Daerah Endemik” yang sampai saat ini belum ditemukan cara penanganan yang efektif.
 
1.2 Perumusan Masalah
1. Dapatkah pasta kemangi (Ocymum basilicum) digunakan sebagai bahan penanganan Demam Berdarah (DBD)?
2. Bagaimanakah cara efektif menanggulangi wabah Demam Berdarah di daerah Endemik ?
 
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penggunaan pasta kemangi (Ocymum basilicum) sebagai bahan penanganan demam berdarah (DBD).
2. Untuk mengetagui cara efektif menanggulangi wabah Demam Berdarah di daerah Endemik.
 
1.4 Manfaat
Berdasarkan paparan diatas dimulai dari latar belakang, rumusan masalah dan tujuan, maka manfaat yang diharapkan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah :
a. Bagi masyarakat umum, penulisan karya ilmiah ini dapat dijadikan bacaan kesehatan untuk menanggulangi wabah demam berdarah yang disebabkan salah satunya oleh nyamuk Aedes aegepty yang saat ini menjadi topik utama masalah kesehatan tubuh dan lingkungan. Selain itu dapat membantu masyarakat dalam memperoleh pengetahuan tentang penyakit DBD, salah satunya melalui pemakaian pasta kemangi (Ocymum basilicum).
b. Bagi pemerintah, informasi ini dapat membantu dalam program penyuluhan kesehatan masyarakat secara merata dan banyak diterima masyarakat menengah kebawah.
c. Bagi dunia keilmuan, penulisan karya ilmiah ini dapat memberikan sumbangan pemikiran berupa kajian-kajian literature yang kemudian dapat pula dugunakan sebagai upaya kesehatan masyarakat luas.
 
1.5 Uraian Singkat
Herba kemangi (Ocymum basilicum) memiliki bau bau yang sangat tajam sehingga jika tercium agak lama akan mengakibatkan mual dan pusing. Bau daun ini juga dapat mengusir nyamuk dan Serangga.
Dengan adanya hal tersebut, di zaman yang serba mahal ini, penulis menemukan solusi baru yang lebih aman, mudah dan murah serta tidak memerlukan waktu lama untuk proses pembuatan dan alat mahal seperti pembuatan ekstrak sehingga cara ini lebih efektif digunakan oleh masyarakat kalangan manapun serta dapat membantu pihak terkait terutama masalah pengeluaran biaya untuk penanganan Demam Berdarah yang saat ini memakan banyak dana. Dengan pemanfaatan tanaman herba Kemangi (Ocymum basilicum) sebagai pasta, kulit akan terhindar dari efek samping sebab tidak mengandung senyawa kimia berbahaya serta dapat memperkecil pengeluaran dan mempersingkat waktu pembuatan. 
Dengan penerapan teknologi sederhana tersebut kulit akan terhindar dari sengatan nyamuk terutama penyebab Demam Berdarah.


BAB II
TELAAH PUSTAKA
 
2.1 Tinjauan Umum Kemangi (Ocymum basilicum)
2.2.1 Biologi Tanaman

2.2.1.1 Klasifikasi

Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Classis : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Lamiaceae
Genus : Ocymum
Spesies :Ocymum basilicum (Steenis, 2003).

2.1.1.2Morfologi
Terna yang menegak, tinggi hingga 1,10 m, batang coklat tua, tangkai daun coklat muda dan daun-daun hijau tua. Daunnya berasa manis dan agak tajam (Tjitrosoepomo, 1994).

2.1.2 Budidaya
Kemangi tidak menuntut syarat tumbuh yang rumit. Dapat dikatakan semua wilayah di Indonesia bisa ditanami kemangi. Yang jelas tanahnya bersifat asam. Kemangi juga toleran terhadap cuaca panas maupun dingin. Perbedaan iklim ini hanya mengakibatkan penampilan tanacnan sedikit berbeda. Kemangi yang ditanam di daerah dingin daunnya lebih lebar dan lebih hijau. Sedang kemangi di daerah panas daunnya kecil, tipis, dan berwama hijau pucat.
Benih Kemangi diperbanyak dengan bijinya. Biji diperoleh dari buah kemangi yang masak di batang. Ciri biji yang tua ialah berwama – hitam dan
kering. Biji kemangi harus disemai terlebih dahulu sebelum ditanam. (Anonimous, 2009).

2.1.3 Distribusi dan Habitat
Tanaman ini ditemukan di seluruh pulau Jawa dari daratan rendah hingga kurang lebih 450 m di atas permukaan laut, bahkan dibudidayakan hingga 1100 m. Selain di P. Jawa, jenis ini telah ditanam hampir di seluruh Nusantara. Tumbuh pada tepi-tepi jalan dan tepi-tepi ladang, pada sawah-sawah kering dan dalam hutan-hutan jati seringkali disemaikan di kebun-kebun dan pekarangan rumah. (Anonimous, 2009).

2.1.4 Manfaat
Daun selasih memiliki bau yang sangat tajam sehingga jika tercium agak lama akan mengakibatkan mual dan pening. Bau daun ini juga dapat mengusir nyamuk dan serangga (Tjitrosoepomo, 1994).
Dalam farmakologi Cina disebut tumbuhan ini memiliki sifat: rasa agak manis, dingin, harum, dan menyegarkan, menghilangkan bau badan, dan bau mulut. Efek zat aktif : 1,8 sineol (seluruh tanaman), anestesi, membantu mengatasi ejakulasi dini, anti kholinesterase, perangsang aktifitas syarafpusat, melebarkan pembuluh darah kapiler (merangsang ereksi), penguat hepar. Anethol (seluruh tanaman); merangsang hormon estrogen, merangsang faktor kekebalan tubuh, merangsang ASI. Apigenin (seluruhtanaman); melebarkan pembuluh darah, mencegah pengentalan darah, melancarkansirkulasi, menekan syaraf pusat, ralaksasi otot polos. Arginine (daun), memperkuat daya tahan hidup sperma, mencegah kemandulan, menurunkan gula darah, antihepatitis, diuretik. Asam aspartat (daun); merangsang syaraf, analeptik. Boron (seluruh tanaman); merangsang keluarnya hormon androgen dan hormon estrogen serta mencegah pengeroposan tulang (Anonimous, 2009).

2.1.5 Kandungan Kimia
Tumbuhan ini kaya dengan berbagai kandungan kimia yang sudah diketahui, a. l: Minyak atsiri: Osimena, farnesena, sineol, felandrena, sedrena, bergamotena, amorfena, burnesena, kadinena, kopaena, kubebena, pinena, ter pinena, santalena, sitral, dan kariofilena.
Senyawa lain : Anetol, apigenin, asam askorbat, asam kafeat, eskuletin,eriodiktiol, eskulin, estragol, faenesol, histidin, magnesium, rutin, tanin, ß-carotene, ß-sitosterol.

2.2 Tinjauan Umum Demam Berdarah

2.2.1 Pengertian
DBD adalah salah satu penyakit yang tidak ada obat maupun vaksinnya. Pengobatannya hanya suportif berupa tirah baring dan pemberian cairan intravena. Oleh karena itu, tindakan pencegahan dengan memberantas sarang nyamuk dan membunuh larva serta nyamuk dewasa terus digalakkan.

2.2.2 Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue mengakibatkan manifestasi klinis yang bervariasi mulai dari asimtomatik, penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue , demam berdarah dengue, sampai sindrom syok dengue. Masa inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari.
Secara klinis biasanya ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Demam dengue pada bayi dan anak berupa demam ringan disertai timbulnya ruam makulopapular. Pada anak besar dan dewasa dikenal sindrom trias dengue berupa demam tinggi mendadak, nyeri pada anggota badan (kepala, bola mata, punggung, dan sendi), dan timbul ruam makulopapular. Tanda lain menyerupai demam dengue yaitu anoreksia, muntah, dan nyeri kepala (Dep.Kes. RI, 1992).

2.2.3 Diagnosis
Diagnosis DBD biasa dilakukan secara klinis:
1. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2-7 hari, kemudian turun secara lisis.
2. Pembesaran hati dan nyeri tekan tanpa ikterus.
3. Dengan/tanpa syok. Syok yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis yang buruk.
4. Kenaikan nilai Ht/hemokonsentrasi, yaitu sedikitnya 20%.
5. Adanya ruam-ruam pada kulit.
6. Leukopenia
Derajat Beratnya DBD secara klinis dibagi menjadi 4 derajat yaitu:

1. Derajat I:
Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan manifestasi perdarahan spontan satu-satunya adalah uji tourniquet positif.
2. Derajat II:
Gejala-gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan kulit spontan atau manifestasi perdarahan yang lebih berat.
3. Derajat III:
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (< 20 mmHg), hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah.
4. Derajat IV:
Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur (Setyaningrum, 2005)


2.2.4 Usaha-usaha Pemecahan Masalah yang Telah Dilakukan
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memerintahkan para Dokter untuk berkoordinasi dengan aparat kesehatan setempat untuk kasus-kasus DBD yang sedang diobati. Tetapi, hal tersebut juga disampaikan kepada masyarakat agar berperan aktif melakukan tindakan pencegahan dan berperilaku hidup bersih dan sehat dengan senantiasa melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan dan segera melapor ke RT/RW setempat apabila terdapat warga di daerahnya yang menderita DBD (Lamppost, 2009)

Hingga kini belum ditemukan obat dan vaksin pencegah DBD. Seluruh rumah sakit (RS) harus segera memberikan pertolongan secepatnya kepada korban DBD tanpa harus meminta uang muka dulu dan penderita dari keluarga miskin, maka biaya pengobatan akan diganti pemerintah. Sementara itu Depkes telah mengeluarkan anggaran Rp10 miliar untuk program pemberantasan sarang nyamuk selama 2004 yang digunakan untuk penyuluhan dan pembelian insekstisida untuk pengasapan sarang nyamuk di sejumlah daerah (Anonimous, 2009)

2.3 Penelitian Terkait Demam Berdarah dan Insektisida Alami
Berdasarkan studi terdahulu oleh Hamon & Mouchet dalam Bulletin WHO 1967, memang sudah dipaparkan bahwa spesies Culex quinquesfasciatus adalah spesies nyamuk yang paling cepat resisten terhadap insektisida daripada spesies nyamuk lain. Selain itu, WHO 1996 melaporkan, di banyak negara nyamuk Culex telah resisten terhadap insektisida golongan organofosfat, karbamat, dan piretroid.
Lima dkk dalam Am J Trop Med Hyg 2003 juga mengemukakan adanya tanda-tanda resistensi larva dan nyamuk dewasa Aedes aegypti terhadap beberapa jenis insektisida. Sampel nyamuk diambil dari 10 kotamadya yang terletak di Rio de Janeiro dan Espirito Santo, Brazil. Dari 10 kotamadya tersebut, larva Aedes aegypti dari delapan kotamadya sudah menunjukkan resistensi terhadap temefos (0,012 mg/L), dimana tingkat mortalitasnya hanya 74% sampai 23,5.

Sathantriphop S dkk meneliti kerentanan nyamuk Culex quinquefasciatus dan Aedes aegypti terhadap beberapa kelompok besar insektisida yaitu DDT, fenitrothion, malathion, deltamethrin, dan permethrin. Setelah dipapari selama 1jam (kecuali 4 jam untuk DDT), nyamuk Culex (nyamuk yang paling sering ditemukan di rumah-rumah) menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap DDT 4%, deltamethrin 0,05%, fenitrothion 1%, dan permethrin 0,75% dengan persentase kematian berturut-turut adalah 0%, 11%, 21,2%, dan 10,1%.

Menurut tim peneliti dari Center for New Crops and Plant Products, Purdue University, AS, daun kemangi terbukti ampuh untuk pengobatan sakit maag, perut kembung, masuk angin, kejang-kejang, dan badan lesu. Selain itu, aroma kemangi dapat menolak gigitan nyamuk. Sejak zaman dahulu, kemangi disuling untuk diambil sari minyak atsirinya.

2.4 Hubungan Herba Kemangi (Ocymum basilicum) dengan Demam Berdarah
Herba Kemangi (Ocymum basilicum) dikenal memiliki zat aktif berupa alkaloid yang dapat mematikan jentik nyamuk.
Alternatif dari alam ini sudah sering digunakan. Penelitian tentang insektisida alamiah dalam upaya mengendalikan serangga, khususnya pada stadium jentik, pertama kali dirintis oleh Campbell dan Sulivan tahun1933. Selanjutnya berturut-turut Harzel tahun 1948; Amongkas dan Reaves tahun 1970; Pirayat Suparvann, Roy Sifagus, dan Fred W.K (1974) di University of Kentucky, Lexington telah menghasilkan penelitian bahwa ekstrak daun kemangi (Olium basikicum) pada dosis 100 ppm (bagian
per sejuta) dapat menghambat pertumbuhan jentik Aedes aegypty (Anonimous, 2008).

BAB III
METODE PENULISAN

3.1 Sumber Data Deskriptif
Pada periode Januari 2007, terjadi 4.862 kasus DBD di 14 provinsi di Indonesia di antaranya 75 mengakibatkan kematian. Bisa disebut menurun dibanding Januari 2006, di mana dilaporkan terjadi 18.941 kasus DBD di 33 provinsi dan 192 di antaranya meninggal (Widianto, 2007).
 
Namun, jika dilihat secara total kasus DBD sepanjang tahun, trennya terus meningkat. Dalam lima tahun terakhir misalnya, angka peningkatanya jelas, yakni kasusnya 79.462 meninggal 957 tahun 2004, 95.000 dan meninggal 1.350 (2005), 113.640 dan meninggal 1.184 (2006) dan terakhir 140.000 kasus dengan 1.380 meninggal tahun 2007 (Budianto, 2007).
 
Kasus demam berdarah dengue (DBD) setiap tahun di Indonesia terus meningkat dan bahkan dikhawatirkan makin merajalela dengan pemanasan global. Pusat Informasi Departemen Kesehatan mencatat, jumlah kasus DBD di Indonesia pada bulan Januari 2008 mencapai 8.765 kasus dengan 68 korban meninggal, bahkan hingga awal Februari kasusnya telah mencapai 9.092 dengan 70 korban meninggal (Widianto, 2006).
 
3.2 Metode Pengumpulan data
 
3.2.1 Dokumentasi
Tercantum dalam lampiran 1.
 
3.2.2 Wawancara
Dalam mengumpulkan data, selain menggunakan observasi dan dokumentasi juga digunakan wawancara agar data yang diperoleh lebih akurat. Wawancara ditujukan pada Dinas kesehatan, puskesmas, dan beberapa masyarakat yang terkena wabah tersebut di daerah Endemik.
 
3.2.3 Observasi
Untuk mendukung gagasan tertulis ini, penulis melakukan observasi di daerah endemis Malang. Hasil observasi yang didapat berupa, kasus demam berdarah yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Obserevasi ini dilakukan pada tanggal 3 dan 4 Januari 2009.


BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
 
4.1 Analisis Masalah
Jumlah korban yang tewas dari wabah demam berdarah di Indonesia telah meningkat menjadi 224 orang. Sejak permulaan tahun, virus itu telah menyerang lebih dari 11 ribu 720 orang. Departemen kesehatan menyebut wabah demam berdarah itu “luar biasa” karena jumlah yang terserang lebih dari duakali lipat selama waktu yang sama tahun lalu. Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) telah mengatakan, kasus demam berdarah telah bertambah setiap tahun diseluruh Asia Tenggara. Demam berdarah tertutama adalah penyakit tropis, dan disebarkan oleh nyamuk.
 
Hingga kini belum ditemukan obat dan vaksin pencegah DBD. Seluruh rumah sakit (RS) harus segera memberikan pertolongan secepatnya kepada korban DBD tanpa harus meminta uang muka dulu dan penderita dari keluarga miskin, maka biaya pengobatan akan diganti pemerintah. Sementara itu Depkes telah mengeluarkan anggaran Rp10 miliar untuk program pemberantasan sarang nyamuk selama 2004 yang digunakan untuk penyuluhan dan pembelian insekstisida untuk pengasapan sarang nyamuk di sejumlah daerah.
 
Pada bulan Maret 2005 masih ada daerah berstatus kejadian luar biasa. Sampai Mei di seluruh Indonesia tercatat 28.224 kasus; dengan jumlah kematian 348 orang. Hingga awal Oktober 2005, kasus DBD di 33 provinsi mencapai 50.196 kasus, dengan 701 di antaranya meninggal (case fatality rate 1,4 persen). Daerah terpaan DBD terbesar: DKI Jakarta (14.200 kasus). Kasus kematian tertinggi: Jawa Barat (147 orang). Data itu menunjukkan peningkatan hampir dua kali lipat dari Mei hingga awal Oktober. Banyaknya kasus DBD ini seiring dengan datangnya musim hujan yang menyebabkan banyaknya genangan air.
 
Mantan Kepala Subdirektorat Arbovirosis Departemen Kesehatan, Rita Kusriastuti memperkirakan jumlah penderita demam berdarah meningkat seiring perubahan iklim global terjadi dan membuat sejumlah tempat menjadi lebih hangat. Dia juga menyatakan, data penderita DBD, bisa lebih besar dari perkiraan, apalagi bisa jadi ada korban yang tidak tercatat.
 
Menurut Rum Istriati, Kasudin Kesmas Jakarta Pusat, ketika dihubungi, dua orang korban meninggal merupakan warga Bungur, Kecamatan Kemayoran, dan satu orang lagi merupakan warga Petamburan. Korban meninggal diduga akibat telat diagnosa dan telat penanganan hingga akhirnya mereka meninggal dunia.
Dalam Kompas, 2005 dijelaskan bahwa kurangnya koordinasi yang bagus antara masyarakat dan pihak kesehatan terkait sehingga terjadi peningkatan korban DBD dari tahun ke tahun dalam skala besar. Bahkan pemerintah telah mengeluarkan anggaran dengan jumlah besar tetapi hasilnya belum bisa dirasakan oleh masyarakat secara merata. Akibatnya pembangunan nasional di Indonesia belum bisa tercapai secara seimbang.
 
4.2 Sintesis Masalah
Hingga kini belum ditemukan obat dan vaksin pencegah DBD. Seluruh rumah sakit (RS) harus segera memberikan pertolongan secepatnya kepada korban DBD tanpa harus meminta uang muka dulu dan penderita dari keluarga miskin, maka biaya pengobatan akan diganti pemerintah. Sementara itu Depkes telah mengeluarkan anggaran Rp10 miliar untuk program pemberantasan sarang nyamuk.
Berdasarkan fenomena di atas maka penulis membuat alternatif baru untuk mengatasi wabah demam berdarah yang lebih murah dan mudah karena dapat dijangkau semua kalangan, aman karena tidak mengandung senyawa kimia berbahaya serta tidak memerlukan waktu lama dan alat mahal untuk pengolahan seperti pembuatan ekstrak. Solusi tersebut adalah dengan memanfaatkan tanaman kemangi yang telah dibuat pasta, kemudian pasta tersebut dioleskan pada permukaan kulit agar kulit tidak tergigit oleh nyamuk terutama nyamuk penyebab demam berdarah (DBD). Dengan menerapkan teknologi sederhana tersebut maka akan membantu upaya pemerintah dan pihak kesehatan terkait dalam menanggulangi wabah Demam Berdarah. Cara tersebut lebih efektif untuk menanggulangi wabah Demam Berdarah (DBD) yang saat ini kasusnya mengalami peningkatan dalam skala besar dari tahun ke tahun.
Adapun pembuatan pasta kemangi, sebagai berikut:


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
 
5.1 Kesimpulan
Dengan adanya hal tersebut, di zaman yang serba mahal ini, penulis menemukan solusi baru yang lebih aman, mudah dan murah serta tidak memerlukan waktu lama untuk proses pembuatan dan alat mahal seperti pembuatan ekstrak sehingga cara ini lebih efektif digunakan oleh masyarakat kalangan manapun serta dapat membantu pihak terkait terutama masalah pengeluaran biaya untuk penanganan Demam Berdarah yang saat ini memakan banyak dana. Dengan pemanfaatan tanaman herba Kemangi (Ocymum basilicum) sebagai pasta, kulit akan terhindar dari efek samping sebab tidak mengandung senyawa kimia berbahaya serta dapat memperkecil pengeluaran dan mempersingkat waktu pembuatan. Dengan penerapan teknologi sederhana tersebut kulit akan terhindar dari sengatan nyamuk terutama penyebab Demam Berdarah.
 
5.2 Saran
Disarankan bagi:
1. Masyarakat dan pihak terkait untuk menggunakan alternatif ini karena cara tersebut diketahui lebih efektif dan lebih terjangkau.
2. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi para calon peneliti selanjutnya agar dapat menemukan alternatif baru untuk menanggulangi wabah demam berdarah.

Makalah Penelitian




Potensi pemanfaatan Trichoderma spp. sebagai agen pengendali hayati dalam mengendalikan penyakit tanaman

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) hingga saat ini masih merupakan masalah utama yang membatasi produksi terutama untuk daerah-daerah yang mempunyai iklim tropis. Sementara, penggunaan pestisida sintetik dalam mengendalikan OPT mempunyai resiko yang besar karena dapat menyebabkan reistensi, resurgensi, pencemaran lingkungan, musnahnya musuh alami, timbulnya residu pestisida dalam tanaman dan sebagainya. Pengendalian hayati diharapkan dapat mengurangi efek samping dari penggunaan pestisida dalam mengendalikan serangan OPT.

Menurut Cook and Baker (1989), pengendalian hayati (biological control) adalah pengurangan jumlah inokulum atau aktivitas produksi penyakit (deseases producing-activity) dari patogen yang disebabkan oleh satu atau beberapa organisme selain manusia. Aktivitas produksi penyakit termasuk didalamnya pertumbuhan, keinfektifan, virulensi, agresifitas dan kualitas lain dari patogen. Di dalamnya termasuk 1) individu atau populasi avirulen atau hipovirulen dari spesies patogen itu sendiri, 2) manipulasi genetik tanaman inang, kultur teknis, atau dengan menggunakan mikroorganisme untuk meningkatkan ketahanan tanaman inang terhadap patogen, dan 3) pemanfaatan antagonis patogen yang diartikan sebagai mikroorganisme yang menginterferensi pertahanan atau aktivitas produksi penyakit dari patogen . Pengendali hayati dapat berupa : kultur teknis (pengelolaan habitat) sehingga membuat lingkungan mendukung untuk pertumbuhan antagonis, penggunaan tanaman inang yang resisten, atau keduanya ; persilangan tanaman untuk meningkatkan ketahanan terhadap patogen atau keadaan tanaman inang yang mendukung (disukai) untuk aktivitas antagonis ; introduksi antagonis, strain non-patogenik, dan agen atau organisme lain yang mempunyai manfaat yang sama.

Salah satu contoh pengendalian hayati adalah dengan memanfaatkan Trichoderma spp. sebagai organisme yang mempunyai kemampuan antagonistik dalam mengendalikan penyakit tanaman. Trichoderma spp. merupakan jamur yang sangat umum dijumpai dalam tanah dan merupakan jamur yang bersifat antagonistik terhadap jamur lain (Chet, 1987).
Faktor-faktor yang menguatkan Trichoderma sebagai salah satu agen pengendali hayati adalah ditemukannya proses-proses sebagai berikut :
  • Munculnya respon kemotropik dari Trichoderma spp.
  • Dipengaruhinya inang oleh mikoparasit
  • Ekskresi dari enzim ekstra selular
  • Terjadinya lisis pada inang(chet, 1987).

Tujuan
Untuk mengetahui pemanfaatan Trichoderma spp. sebagai agen pengendali hayati dalam mengendalikan penyakit tanaman.

BIOLOGI TRICHODERMA SPP.
Trichoderma merupakan jamur inperfekti (tak sempurna) dari Subdivisi Deuteromycotina, Kelas Hyphomycetes, Ordo Moniliaceae. Konidiofor tegak, bercabang banyak, agak berbentuk kerucut, dapat membentuk klamidospora, pada umumnya koloni dalam biakan tumbuh dengan cepat, berwarna putih sampai hijau (Cook and Baker, 1989).
Bentuk Sempurna dari jamur ini secara umum dikenal sebagai Hipocreales atau kadang-kadang Eurotiales, Clacipitales dan Spheriales. Spesies dalam satu kelompok yang sama dari Trichoderma dapat menunjukkan spesies yang berbeda pada Hypocrea sebagai anamorf. Hal ini dimungkinkan karena terdapat banyak perbedaan bentuk seksual dari Trichoderma, sebagai contoh misalnya pada T. harzianum dapat menunjukkan enam perbedaan bentuk seksual yang masing-masing bentuk ini menunjukkan anamorf yang berbeda (Chet, 1987).
Morfologi beberapa spesies Trichoderma menurut Cook and Baker (1989), sebagai berikut:
Trichoderma viride Pers. (bentuk sempurnanya dikenal sebagai Hypocrea rufa Fr.) : Penyebarannya luas di tanah; konidiofor berakhir pada fialid; fialospora mempunyai dinding yang kasar, berwarna hijau, berukuran antara 2,8-5,0 X 2,8-4,5 mm; koloni cepat tumbuh pada media malt-agar (menutupi 9 cm permukaan petridish dalam empat hari pada suhu 200 C).
Trichoderma hamatum Bainier : Penyebarannya luas di tanah, konidiofor berakhir pada perpanjangan hifa yang steril, fialospora halus, berwarna hijau, elipsoidal membujur, kebanyakan berukuran 5 X 2,5 – 3 mm, koloni cepat tumbuh pada malt-agar (menutupi 9cm permukaan petridish dalam waktu lima hari pada 200 C)
Trichoderma harzianum Rifai : Umum ditemukan pada tanah, konidiofor berakhir pada fialid; fialospora halus, berwarna hijau, berukuran antara 2,4-3,2 X 2,2-2,8 mm; koloni cepat tumbuh.
Trichoderma polysporum Rifai : Umum ditemukan pada tanah; konidiofor berakhir pada perpanjangan hifa yang fleksibel; fialospora halus, elipsoidal membujur, hyalin, berukuran 2,4-3,8 X 1,8-2,2 mm; koloni lambat tumbuh dan mempunyai konidia berwarna putih yang dapat dihamburkan menutupi permukaan.
Trichoderma koningii Oud : Umum ditemukan pada tanah, konidiofor berakhir pada fialid; fialospora halus, berwarna hijau, eliptik-subsilindris, berukuran 3-4,8 X 1,9-2,8 mm; koloni cepat tumbuh.

Genus dari Trichoderma terdiri atas beberapa jamur saprofit yang umum ditemukan dalam tanah, kayu lapuk, dan sisa tanaman, yang mana dapat mudah dikenali terutama karena sporanya yang berwarna hijau (Chet, 1987). Berdasarkan contoh-contoh dari beberapa tanah pertanian, populasi alamiah Trichoderma tergolong agak rendah. Populasinya sangat beragam dipengaruhi oleh pH,seperti padda tanah di benua Amerika di Fort Collins (pH 8,1) terdpat 103 spora/gram, di Bogota Kolombia (pH 5,1) terdapat 108 spora/gram pada tanah organis ( chet, 1987). Trichoderma viride merupakan antagonis yang aktif pada tanah yang lembab tapi terhambat pertumbuhannya pada tanah yang sangat basah dengan pH 5,4 atau lebih besar (Anderson, 1962-1964, dalam cook and Baker, 1989), T. harzianum lebih aktif sebagai antagonis dalam tanah pada pH 6,5 atau lebih rendah (Chet, 1987).

PEMBAHASAN
Potensi dan Mekanisme Antagonistik Trichoderma spp.
Diketahui bahwa beberapa spesies Trichoderma mampu menghasilkan metabolit gliotoksin dan viridin sebagai antibiotik dan beberapa spesies juga diketahui dapat mengeluarkan enzim b-1,3-glukanase dan kitinase yang menyebabkan eksolisis pada hifa inangnya (Chet, 1987), tapi proses yang terpenting adalah kemampuan mikoparasit dan persaingannya yang kuat dengan patogen (Cook and Baker, 1989). Dalam beberapa penelitian yang dilakukan, Trichoderma spp. Berperan sebagai mikoparasit terhadap Phytium apanidermatum, Rhizoctonia solani, dan Sclerotium ralfsii (Johnson and Curl, 1972, dalam Chet, 1987). Chet (1987), berpendapat bahwa bahwa mikoparasitisme dari Trichoderma spp. merupakan suatu proses yang kompleks dan terdiri dari beberapa tahap dalam menyerang inangnya. Interaksi awal dari Trichoderma spp. yaitu dengan cara hifanya membelok ke arah jamur inang yang diserangnya, Ini menunjukkan adanya fenomena respon kemotropik pada Trichoderma spp. karena adanya rangsangan dari hyfa inang ataupun senyawa kimia yang dikeluarkan oleh jamur inang. Ketika mikoparasit itu mencapai inangnya, hifanya kemudian membelit atau menghimpit hifa inang tersebut dengan membentuk struktur seperti kait (hook-like structure), mikoparasit ini juka terkadang mempenetrasi miselium inang dengan mendegradasi sebagian dinding sel inang (Elad et al.,1983, dalam Chet, 1987).
Kemampuan masing-masing spesies Trichoderma dalam mengendalikan jamur patogen berbeda-beda, hal ini dikarenakan morfologi (dijelaskan pada Bab II) dan fisiologinya yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Trichoderma harzianum dan Trichodrma hamatum memproduksi enzim b-1,3-glukanase dan kitinase yang dapat menyebabkan eksolisis hifa inang (Chet, 1987) Trichoderma hamatum juga memproduksi selulase yang diduga dapat menjelaskan kemampuannya dalam memparasiti Pythium spp (Chet and Baker, 1981, dalam Cook and Baker, 1989). Trichoderma harzianum strain 1295-22 juga menghasilkan antibiotik volatile yang mampu mengurangi pertumbuhan miselium Rhizoctonia solani (Lo, et al., 1997).
Widyastuti, dkk.(1999), menguji tingkat dan variasi potensi antagonistik tiga spesies Trichoderma terhadap delapan isolat jamur akar tanaman kehutanan dan didapatkan hasil seperti yang tercantum pada tabel 1.

Tabel 1. Daya hambat tiga spesies Trichoderma terhadap pertumbuhan delapan isolat jamur akar tanaman kehutanan
x No. Isolat
y Inang
z Daya Hambat (%)
T. koningii
T. reesei
T. harzianum
2
Acacia mangium
94,31 a
96,53 c
79,84 d
4
Acacia mangium
97,82 a
98,20 b
84,62 bcd
9
Acacia auriculiformis
96,37 a
98,37 b
86,56 abc
10
Delonix regia (Flamboyan)
97,03 a
98,22 b
83,03 cd
13
Paraserianthes falcataria (Sengon)
62,82 b
100,00 a
56,37 f
17
Dalbergia latifolia (Sonokeling)
98,48 a
95,72 c
71,60 e
19
Cassia siamea (Johar)
98,62 a
98,32 b
90,56 a
24
Leucana leucocephala (Lamtoro)
99,51 a
100,00 a
89,35 ab

Ket. : x Nomor isolat jamur menyesuaikan dengan nomor induk isolat koleksi lab. Perlindungan Hutan, Fak. Kehutanan. Jamur akar diisolasi dari akar tanaman yang tumbuh di beberapa tempat dan menunjukkan gejala penyakit dan tubuh buah jamur akar, isolat yang diperoleh diperbanyak dan disimpan dalam agar miring.
y Inang ini merupakan tempat jamur akar diisolasi.
z Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji beda nyata jujur pada taraf uji 0,05.
Dari Tabel 1. dapat disimpulkan bahwa ketiga spesies Trichoderma yang diuji mampu menghambat sebagian besar pertumbuhan isolat jamur patogen akar meskipun tiap jenis Trichoderma mempunyai potensi antagonistik yang berbeda-beda terhadap isolat-isolat jamur akar.Tingkat penghambatan tertinggi ditunjukkan oleh T. reesei yang dapat menghambat pertumbuhan semua isolat jamur patogen akar yang diuji. Patogen yang berasal dari jenis tanaman inang yang sama tetapi lokasi tempat tumbuhnya berbeda juga akan memberikan respon yang berbeda pula.
Dari hasil penelitian sebelumnya, Widyastuti, dkk.(1998), juga melaporkan bahwa Trichoderma spp. mampu menghambat pertumbuhan Ganoderma philippii yang menyerang Acacia mangium (data tidak disajikan) pada media PDA dan Media potongan akar Acacia mangium Willd.


Formulasi dan Sistem Aplikasi
Pengendalian hayati yang dilakukan tidak hanya bergantung pada agen pengendali hayati saja tetapi cara dan strategi untuk mempertahankan tingkat populasi dan aktivitasnya terhadap sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga pengendalian hayati yang dilakukan menjadi efektif. Menjaga kualitas dari agen pengendali hayati, metoda yang digunakan untuk pembuatannya, formulasi, dan aplikasinya, merupakan hal yang penting karena dapat mempengaruhi efikasi dari agen pengendali hayati itu sendiri (Cook and Baker, 1989).
Untuk memudahkan dalam aplikasi dan untuk penyimpanan jangka panjang, diperlukan formulasi yang tepat. Penelitian tentang formulasi untuk produksi masal Trichoderma telah banyak di coba. Backman and Rodriguez – Kabana (1975), dalam Chet (1987) menggunakan campuran molase dan butiran tanah liat sebagai food base untuk Trichoderma harzianum, pengamatan menunjukkan dapat mengurangi kerusakan akibat serangan Sclerotium ralfsii pada kacang tanah. Huang (1980) dalam Cook and Baker (1989) menumbuhkan Trichoderma viride pada biji jewawut yang telah di-autoclave dan biji bunga matahari pada temperatur ruangan selama dua sampai enam minggu yang diaplikasikan pada lahan setelah di kering-anginkan selama dua sampai empat minggu. Lo et al. (1997) menambahkan surfactant sebanyak 0,1% v/v(Titon X-100; Eastman Kodak Co.) dan nutrisi perekat (nutrient adhessive)yang mengandung carboxymethyl cellulose dan gum arabic ((Pelgel; Liphatech, Inc.) sebanyak 1% berat/v pada suspensi konidia pada saat aplikasi, pengujian ini menunjukkan dapat menekan gejala serangan Phytium gamminicola Subramanian, Rhizoctonia solani Kuhn, dan Sclerotinia homoecarpa F. T. Bennet.
Lo, et al., melakukan penelitian untuk mengetahui populasi Trichoderma spp. pada tanah dan filoplan pertanaman rumput Agrostis palustris Huds. yang diberi perlakuan Trichoderma harzianum strain 1295-22 dengan perlakuan butiran dan penyemprotan (data pada tabel 2).

Dari Tabel 2 terlihat bahwa pada percobaan di laboratorium, perlakuan butiran dan penyemprotan memberikan hasil yang berbeda dalam penyebaran T. Harzianum strain 1295-22 , yang secara efektif mampu mengkoloni akar pertanaman rumput ketika diberi perlakuan butiran dan penyemprotan, tapi perlakuan dengan penyemprotan menunjukkan hasil yang lebih tinggi dalam mengkoloni permukaan daun.

Tabel 2. Populasi Trichoderma spp. pada rizosfer dan filoplan pada pertanaman rumput Agrostis palustris Huds. yang diberi perlakuan Trichoderma harzianumw
Perlakuan
Populasi pada Rizosfer (CFU/g tanah)
Populasi pada filosfer (CFU/0,05 g daun)
Tanah yang di-Autoclavex
Tanah Alami (tidak di-Autoclave)
Tanah yang di-Autoclavex
Tanah Alami (tidak di-Autoclave)
Kontrol
2,9 X 103 c
1,8 X 104 c
3,6 X 103 b
6 X 104 b
Aplikasi ButiranY
2,4 X 105 a
1,0 X 105 b
6,7 X 103 b
7 X 104 b
Aplikasi PenyemprotanZ
1,0 X 105 b
1,8 X 105 a
4,0 X 105 a
3 X 105 a

Ket. : w Data dikumpulkan pada 7 hari setelah penyemprotan suspensi spora pada pembibitan rumput. Tingkat populasi awal trichoderma adalah 2 sampai 5 X 103 CFU/g untuk tanah tanpa perlakuan dan 0,5 sampai 1 X 103 setelah di-autoclavepada awal experimen.
x Tanah di-autoclave dua kali selama 20 menit (1210 C, 15 lb). Angka pada kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada p = 0,05.
y Aplikasi butiran dilakukan dengan cara mencampurnya dengan tanah sebelum benih rumput di benamkan.
z pembibitan rumput berumur 10 hari di beri aplikasi penyemprotan yang berasal dari suspensi formulasi butiran dalam air dan disaring melalui 4 lapisan Cheesecloth.

Pada uji evaluasi terhadap dinamika populasi T. harzianum strain 1295-22 dilapangan dan pengaruhnya terhadap gejala serangan Phytium gamminicola Subramanian, Rhizoctonia solani Kuhn, dan Sclerotinia homoecarpa F. T. Bennet (sebagai pembanding digunakan fungisida propiconazole) yang dilakukan pada bulan Juni sampai November 1994 (data tidak disajikan), Lo et al (1997) mendapatkan bahwa penyemprotan mingguan suspensi spora dengan media tumbuh 2% biji gandum cair (sebanyak 100 ml dari 2% biji gandum [berat/volume] dalam tabung gelas 250 ml diinokulasi dengan 1 ml suspensi konidia [106 spora/ml] dan diinkubasikan selama 5 hari dalam shaker [50 rpm] pada suhu 300 C) menunjukkan populasi yang paling tinggi diantara perlakuan lainnya (106 CFU/gr)(perlakuan yang dilakukan : butiran 6,4 gr/m2, suspensi spora yang diaplikasikan bulanan, dan perlakuan kontrol) mampu menekan gejala serangan penyakit sama efektifnya dengan penggunaan pestisida.


KESIMPULAN
Secara morfologis, Trichoderma mempunyai potensi untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati, hal ini didasarkan atas kemampuanya sebagai mikoparasit dan dan dalam berkompetisi.
Pengujian dilaboratorium menunjukkan bahwa beberapa jenis Trichoderma mampu menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogen dan masing-masing spesies Trichoderma mempunyai potensi antagonistik yang berbeda-beda,
Metode pembuatan biakan masal, formulasi, dan aplikasi berpengaruh terhadap efikasi Trichoderma di lapangan. Penambahan zat aditif seperti surfactant yang kompatibel dapat meningkatkan kemampuan agen pengendali hayati dalam mengurangi gejala serangan penyakit. Penyemprotan mingguan suspensi spora lebih efektif dalam mengurangi serangan penyakit dibandingkan dengan dalam bentuk butiran dan penyemprotan bulanan suspensi spora.


Daftar Pustaka
Chet,I (Ed.), 1987. Innovative Approaches to Plant Diseases Control. John Wiley and Sons, A Wiley-Interscience Publication, USA. pp. 11-210.
Cook, R. J. and K. F. Baker, 1989. The Nature on Practice of Biological Control of Plant Pathogens. ABS press, The American Phytopathological Society, St. Paul, Minesota 539 p.
Lo, C. –T., Nelson, E. B., and Harman, G. E. 1997. Improved Biocontrol Efficacy of Trichoderma harzianum 1295-22 for Foliar Phases of Turf diseases by Use of Spray Application. Plan Disease, Vol. 81, No. 10. pp. 1132-1138.
Widyastuti, S. M. , Sumardi, A. Sulthoni, dan Harjono, 1998. Pengendalian Hayati Penyakit Akar Merah pada Akasia dengan Trichoderma. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia,Vol. 4, No. 2. hal. 65-72.
Widyastuti, S. M., Sumardi dan Harjono, 1999. Potensi Antagonistik Tiga Trichoderma spp Terhadap Delapan Penyakit Akar Tanaman Kehutanan. Bulletin Kehutanan No. 41, Fakultas Kehutanan – UGM, Yogyakarta, Indonesia. Hal. 2-10.